Beranda | Artikel
Bagi Yang Tidak Mengamalkan Ilmu
Senin, 4 November 2019

Bismillah.

Imam Ibnu Asakir rahimahullah (wafat 571 H) menuturkan dalam kitabnya Dzammu Man La Ya’malu bi ‘Ilmihi hadits dari Abu Barzah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya mengenai empat perkara : hartanya; dari mana dia peroleh, dan dalam apa ia belanjakan. Ilmunya, apa yang dia perbuat dengannya. Tentang masa mudanya, untuk apa ia gunakan. Dan tentang umurnya untuk apa dia habiskan.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain, disahihkan oleh al-Albani dalam Sahih Tirmidzi no. 2417 dengan redaksi yang sedikit berbeda)

Imam Tirmidzi rahimahullah (wafat 279 H) menuturkan di dalam Kitab Shifatul Qiyamah hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidaklah bergeser telapak kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang lima perkara : umurnya untuk apa dihabiskan, masa muda untuk apa dia gunakan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa, dan apa yang dia amalkan dengan ilmu yang sudah diketahuinya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan al-Albani)

Hadits-hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa : setiap orang akan ditanya mengenai; hartanya, umurnya, masa mudanya, ilmunya. Untuk harta dia akan ditanya dari mana dan untuk apa, dan untuk ilmunya dia akan ditanya apa yang sudah diamalkan dengan ilmunya itu. Dalam hadits ini juga ditanyakan tentang umurnya dan secara khusus masa mudanya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa nikmat yang Allah berikan harus dipertanggungjawabkan.

Allah pun mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakn apa-apa yang tidak kalian lakukan. Betapa besar kemurkaan di sisi Allah; kalian mengucapkan apa-apa yang kalian tidak lakukan.” (ash-Shaff : 2-3). Allah juga menegur (yang artinya), “Apakah kalian memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan sementara kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian juga membaca al-Kitab. Apakah kalian tidak menggunakan akal.” (al-Baqarah : 44)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah telah menyusun sebuah buku khusus yang menjelaskan betapa pentingnya mengamalkan ilmu, sebuah risalah berjudul Tsamaratul ‘Ilmi al-’Amalu; bahwa ilmu itu membuahkan amalan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa para ulama salaf bukan hanya perhatian dalam hal ilmu, bahkan mereka juga sangat perhatian dalam hal amalan. Oleh sebab itu betapa buruk perkataan sebagian orang yang menuduh atau menyindir para da’i dan penimba ilmu Ahlus Sunnah dengan kalimat, “Mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk manggut-manggut di hadapan kitab Fathul Majid.” atau kalimat lain serupa itu.

Para ulama salaf adalah orang yang paling getol dalam berusaha mewujudkan amal dalam kehidupan. Tidakkah kita lihat bagaimana keras pengingkaran mereka kepada Murji’ah yang mengeluarkan amal dari hakikat iman? Betapa tegas pernyataan mereka untuk menetapkan bahwa amal adalah bagian dari iman, bukan sesuatu di luar hakikat iman. Saking seriusnya mereka dalam masalah amal sampai-sampai sebagian mereka berkata, “Tidaklah aku membandingkan ucapanku kepada perbuatanku melainkan aku khawatir termasuk orang yang mendustakan.”

Maksudnya, mereka khawatir ilmunya tidak membuahkan amalan alias amalnya tidak sesuai dengan apa yang telah diucapkan. Sebab berbedanya ilmu dengan amalan adalah salah satu bentuk kemunafikan. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya takut apabila dirinya terjangkit kemunafikan.” Atsar ini disebutkan oleh Imam Bukhari.

Amalan dalam pandangan ulama salaf adalah bagian penting dalam Islam, bahkan Islam itu tidak bisa tegak tanpa amalan. Bukankah islam dibangun atas lima perkara -rukun Islam- dan itu semua adalah berupa amalan? Betapa pentingnya amalan itu sampai-sampai Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu -seorang sahabat senior- bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan-amalan yang paling utama; tentu karena beliau ingin mengamalkannya. Sebagaimana sahabat Hudazifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai fitnah/keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya.

Apabila kita tidak percaya betapa besar perhatian Islam terhadap amalan lihatlah ayat yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah -yang sering dituduh sebagai pelopor Paham Wahabi- dalam Kitab Tauhidnya pada bagian awal. Beliau menyebutkan firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ayat ini beliau bawakan setelah membawakan judul Kitab Tauhid sebagai penjelas bahwa yang dimaksud tauhid adalah beribadah kepada Allah; sebab tauhid itu adalah memurnikan Allah dalam peribadatan. Alias meninggalkan sesembahan selain-Nya dan menujukan ibadah kepada Allah semata, inilah tauhid!

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ‘amali. Tauhid yang hanya bisa terwujud dengan diamalkan. Yaitu menujukan ibadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Sehingga tidak cukup bermodalkan ilmu pengetahuan bahwa Allah satu-satunya pencipta dan penguasa alam semesta; ini belumlah cukup untuk disebut sebagai tauhid! Sebab keyakinan semacam itu telah diyakini kaum musyrikin dan belum memasukkan ke dalam Islam. Tauhid semacam itu disebut dengan istilah tauhid rububiyah atau tauhid ‘ilmi.

Orang-orang yang mencela da’i atau penimba ilmu tauhid dengan alasan mereka hanya sibuk mengkaji kitab aqidah dan tauhid sehingga tidak banyak memberikan kontribusi amalan bagi umat adalah tidak mengerti tentang hakikat tauhid dan kedudukannya yang begitu mulia di dalam Islam. Bagaimana mungkin seorang bisa masuk surga tanpa tauhid dan aqidah?!

Allah berirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Apabila kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikitpun penolong.” (al-Ma-idah : 72)  

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa penegakan tauhid adalah misi kehidupan setiap insan dan amal terbesar yang menjadi sebab kebahagiaan. Oleh sebab itu para rasul diutus untuk mendakwahkan tauhid. Allah menurunkan kitab-kitab untuk menjelaskan tauhid. Bahkan Allah pun mensyari’atkan jihad untuk membela tauhid dan tegaknya hujjah bagi manusia.

Dari sini kita juga mengetahui kesalahpahaman sebagian orang yang mengatakan bahwa para pegiat dakwah salafiyah tidak perhatian kepada amalan, karena mereka hanya perhatian dalam hal ilmu. Kita tidak membicarakan persoalan individu, tetapi yang kita maksud adalah manhaj salaf sebagai jalan dakwah kepada manusia. Manhaj salaf adalah manhaj yang sangat menekankan amal dan ilmu. Bukankah para ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka apa-apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.”

Maksud dari ucapan ini adalah seorang muslim wajib melandasi amalnya dengan ilmu, tidak boleh melakukan amalan hanya berlandaskan taklid buta atau mengikut tradisi nenek moyang tanpa melihat dalilnya. Lihatlah kaum musyrikin terdahulu; mereka dicela bukan karena mereka tidak beramal, tetapi karena mereka melakukan amal-amal yang mereka kira mendekatkan diri kepada Allah padahal sejatinya amal itu justru membuat mereka dimurkai Allah!

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Dari sini kita juga mengetahui kekeliruan orang yang mengatakan bahwa para ulama salaf adalah orang-orang yang merasa benar sendiri. Seolah-olah mereka -ulama salaf- suka menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya paling benar. Apakah kita akan mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjuluki Khawarij sebagai anjing-anjing penghuni neraka sebagai orang yang merasa benar sendiri?! Apakah kita akan mengatakan Abu Bakar ash-Shiddiq dan para sahabat lainnya radhiyallahu’anhum sebagai orang-orang yang suka merasa benar sendiri ketika mereka memerangi orang-orang murtad dan penolak membayar zakat?!

Apalagi ucapan sebagian orang bahwa Ahlus Sunnah atau pengikut dakwah salaf adalah kelompok yang gemar mengkafirkan dan membid’ahkan. Sehingga dengan alasan itu mereka menuduh bahwa ajaran salafiyah atau Ahlus Sunnah adalah biang pemikiran teroris dan radikalisme. Apakah kita akan mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerangi kaum musyrik semacam Abu Jahal dan Abu Lahab sebagai orang yang suka mengkafirkan? Apakah kita akan mengatakan bahwa para ulama yang menulis kitab fikih dan menjelaskan hal-hal yang bisa membatalkan keislaman adalah kelompok yang suka mengkafirkan? Apakah Imam Ahmad dan para imam Ahlus Sunnah yang lain -semoga Allah merahmati mereka- yang menulis berbagai bantahan terhadap kebid’ahan demi menjaga kemurnian Islam ini akan digelari sebagai tukang vonis bid’ah?

Saudaraku yang dirahmati Allah, ilmu yang akan bermanfaat bagi pemiliknya adalah ilmu yang membuahkan amalan dan rasa takut kepada Allah. Ilmu yang tidak hanya berhenti di lisan atau tulisan atau update status. Ilmu yang tertanam di dalam hati dan menumbuhkan kecintaan dan pengagungan kepada Allah dan syi’ar-syi’ar Islam. Ilmu yang menyuburkan ketaatan dan takwa. Ilmu yang membuat hamba menyiapkan bekal menuju akhirat. Ilmu yang menjaga pemiliknya dari meninggalkan kewajiban dan menerjang keharaman. Oleh karena itu ulama salaf tidak menjadikan standar keilmuan itu dengan banyaknya riwayat, hafalan, atau tulisan. Akan tetapi sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut.” 

Siapakah orang yang meragukan ilmu dan ketakwaan yang dimiliki para imam umat ini semacam Imam Syafi’i rahimahullah? Meskipun demikian, lihatlah ucapan beliau yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak suka merasa benar sendiri apalagi suka mengkafirkan dan membid’ahkan. Beliau berkata, “Aku mencintai orang-orang salih tetapi aku merasa bukan termasuk bagian dari mereka. Dan aku benci orang-orang jahat sementara aku merasa diriku lebih buruk daripada keadaan mereka.” Ucapan serupa juga datang dari Ibnul Mubarok.

Karena itulah para ulama kita mengatakan bahwa ‘barangsiapa semakin mengenal Allah niscaya akan semakin besar rasa takutnya kepada Allah’. Apakah yang membuat seorang lelaki yang mengingat Allah di kala sepi lalu berlinang air mata mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat? Kalau bukan karena rasa takut dan keikhlasannya kepada Allah. Mereka takut kepada Allah maka mereka pun bertaubat kepada-Nya. Mereka takut kepada Allah maka mereka pun melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mereka takut akan hukuman Allah maka mereka pun beribadah kepada Allah sampai ajal tiba. Mereka takut akan murka-Nya, maka mereka pun mengamalkan ilmunya.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/celaan-bagi-yang-tidak-mengamalkan-ilmu/